Paud Kusuma Bangsa. Diberdayakan oleh Blogger.

.

RSS

Bahagia Itu Menular. Benarkah?

Bukan hanya penyakit yang bisa menular. Rasa bahagia atau gembira pun bisa menular. Anda yang sedang diliputi kebahagiaan bisa menularkannya kepada keluarga, teman maupun tetangga. Benarkah?.
Teringat kejadian di kelas X Busana Butik 1 beberapa tahun yang lalu. Seperti biasa saya mengajar IPA pada jam terakhir jam 7 – 8. Biasanya suasana kelas sangat panas, namun hari itu sangat berbeda. Segar dan nyaman.
“Hari ini ada yang berbeda. Siapa yang sedang bahagia hingga mampu membuat suasana kelas terasa segar dan nyaman?”, tanya saya pada anak-anak.
“Tidak ada bu, biasa saja”, jawab Santi.
“Ada bu ... ada. Hari ini Lina sedang bahagia. Pagi tadi diantar ke sekolah pacarnya!”, kata Mei kembaran Lina.
Saya lihat Lina tersipu malu. Dan ternyata benar, saya melihat cahaya terpancar wajahnya yang cantik. Mei dan Lina anak kembar. Mereka berdua anak-anak yang manis dan cerdas. Meskipun sedikit agak berbeda, Lina anaknya pendiam. Sedangkan Mei anaknya cerdas dan selalu ceria.
“Ah, masa iya?’, tanya saya pada Mei.
“Benar bu, hari ini Lina sangat bahagia”, sambung Tina rekan sebangku Lina.
Satu siswa bahagia bisa mempengaruhi suasana kelas. Perasaan bahagia menyebar tanpa kendali. Membuat perasaan bahagia di hati. Apalagi jika semua anggota kelas semua bahagia. Tentu lebih menyenangkan lagi.
Saya juga sering mengalami pancaran kebahagiaan yang disebarkan oleh teman-teman dan tetangga di sekitar rumah. Begitu juga sebaliknya. Kami sering mendiskusikan hal ini bersama ibu-ibu di pertemuan PKK Kelurahan. Maupun teman-teman guru di sekolah. Bahagia merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Supaya terhindar dari stres dan stroke.
Menurut Prof. Nicholas Christakis dari Harvard amedical Scholl dan Prof. James Fowler dari auniversity of California San Diego, menyatakan: ”Apabila Anda bahagia, tetangga yang berada di samping rumah anda akan terdongkrak kebahagiaannya hingga 34%. Virus bahagia ini juga mampu diterima teman yang tinggal sekitar 3 km dari kediaman Anda sebesar 25 %” (Kesehatan Mental, Pebruari 2011).
Berusaha bahagia sebelum masuk rumah maupun masuk kelas. Pentingkah? Menurut pendapat saya sangalah penting. Saya sering membuat kesepakatan bersama suami dan anak-anak. Berusaha membuat hati bahagia sebelum masuk rumah. Tidak mudah memang. Namun apa salahnya kita saling berusaha menyebarakan kebahagiaan pada saat bertemu. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan. Masing-masing memiliki cara yang unik. Cara Suami dan anak-anak tentu saja berbeda dengan cara saya. Namun yang terpenting hasilnya. Tidak masalah prosesnya berbeda yang terpenting kita memiliki niatan yang sama untuk berbagi kebahagiaan ketika tiba di rumah. Apabila salah satu pulang dalam keadaan suntuk, stres atau menyimpan prasangka negatif. Bisa kacau suasana rumah. Satu suntuk yang lain bahagia. Insyallah, anggota keluarga yang suntuk menjadi terasa nyaman dan damai akibat pengaruh kebahagiaan dari anggota keluarga yang lain.
Begitu juga pada saat masuk kelas. Saya selalu berusaha berpikir positif, supaya perasaan nyaman dan bahagia ketika melakukan proses pembelajaran. Menata hati dan emosi, karena saya mampu memancarkan kebahagiaan, terutama pada saat jam-jam terakhir. Pada saat anak-anak mulai mengalami kejenuhan belajar, karena lelah dan lapar. Benarkah? Buktinya apa?. Apabila saya masuk kelas dalam keadaan lelah dan suntuk, suasana kelas menjadi semakin kacau dan membosankan. Waktu dua jam pelajaran serasa sehari. Namun apabila saya masuk ke dalam kelas dengan penuh semangat, bahagia dan nyaman. Waktu dua jam pelajaran serasa singkat. Kalau tidak percaya tanya saja pada siswa saya. Ha ha ha ... bercanda!
Bagaimana pengalaman Anda?


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar